Misa Kanonisasi Beato
Ignazio Choukrallah Maloyan, Beato Peter To Rot, Beata Vincenza Maria Poloni,
Beata Maria del Monte Carmelo Rendiles Martínez, Beata Maria Troncatti, Beato
José Gregorio Hernández Cisneros dan Beato Bartolo Longo
Bacaan
Ekaristi : Kel. 17:8-13; Mzm. 121:1-2,3-4,5-6,7-8; 2Tim. 3:14-4:2; Luk. 18:1-8.
Saudara-saudari
terkasih,
Marilah
kita memulai refleksi kita dengan pertanyaan yang mengakhiri Bacaan Injil yang
baru saja diwartakan: "Tetapi, ketika Anak Manusia itu datang, apakah Ia
akan mendapati iman di bumi?" (Luk 18:8). Pertanyaan ini menyingkapkan
kepada kita apa yang paling berharga di mata Tuhan: iman, yaitu ikatan kasih
antara Allah dan manusia. Hari ini kita memiliki tujuh saksi, para santo santa
baru, yang, dengan rahmat Allah, menjaga pelita iman tetap menyala. Sungguh,
mereka sendiri menjadi pelita yang mampu memancarkan terang Kristus.
Ketika
kita memikirkan kekayaan materi, budaya, ilmu pengetahuan, dan seni yang luar
biasa, iman bersinar bukan karena harta benda ini dijadikan tidak bernilai,
melainkan karena tanpa iman, harta benda ini kehilangan maknanya. Hubungan kita
dengan Allah sangat penting karena pada awal zaman Ia menciptakan segala
sesuatu dari ketiadaan dan, pada akhir zaman, Ia akan menyelamatkan manusia
fana dari ketiadaan. Dunia tanpa iman, dengan demikian, akan dihuni oleh
anak-anak yang hidup tanpa Bapa, yaitu, oleh ciptaan tanpa keselamatan.
Karena
alasan ini, Yesus, Putra Allah yang menjadi manusia, bertanya tentang iman:
jika iman lenyap dari dunia, apa yang akan terjadi? Langit dan bumi akan tetap
seperti sebelumnya, tetapi tidak akan ada lagi pengharapan dalam hati kita;
kebebasan setiap orang akan dikalahkan oleh maut; keinginan kita untuk hidup
akan memudar menjadi ketiadaan. Tanpa iman kepada Allah, kita tidak dapat
berharap akan keselamatan. Pertanyaan Yesus dapat mengganggu kita, kecuali kita
lupa bahwa Yesus sendirilah yang mengajukannya. Sabda Tuhan, sesungguhnya,
selalu merupakan "Injil," pewartaan keselamatan yang penuh sukacita.
Keselamatan ini adalah anugerah kehidupan kekal yang kita terima dari Bapa,
melalui Putra, dalam kuasa Roh Kudus.
Sahabat-sahabat
terkasih, inilah tepatnya mengapa Kristus berbicara kepada murid-murid-Nya
tentang "harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu" (Luk. 18:1).
Sebagaimana kita tak pernah jemu bernapas, demikian pula hendaknya kita tak
pernah jemu berdoa! Sebagaimana bernapas menopang kehidupan tubuh, demikian
pula berdoa menopang kehidupan jiwa: iman, sesungguhnya, terungkap dalam doa,
dan doa sejati hidup dari iman.
Yesus
menunjukkan kepada kita hubungan ini dengan sebuah perumpamaan: seorang hakim
tetap tuli terhadap permintaan mendesak seorang janda, yang berkat ketekunannya
akhirnya mendorong sang hakim untuk bertindak. Sekilas, kegigihan seperti itu
menjadi teladan pengharapan yang indah bagi kita, terutama di masa-masa
pencobaan dan kesengsaraan. Namun demikian, ketekunan perempuan itu dan sang
hakim, yang enggan bertindak, membuka jalan bagi pertanyaan provokatif yang
diajukan Yesus: Tidakkah Allah, Bapa yang baik, "akan memberikan keadilan
kepada orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya?" (Luk.
18:7).
Marilah
kita biarkan kata-kata ini bergema dalam hati kita: Tuhan bertanya kepada kita
apakah kita percaya bahwa Allah adalah hakim yang adil bagi semua orang. Putra
bertanya kepada kita apakah kita percaya bahwa Bapa selalu menginginkan
kebaikan kita dan keselamatan setiap orang. Dalam hal ini, dua godaan menguji
iman kita: godaan yang pertama adalah mendapatkan kekuatan dari skandal
kejahatan, yang membuat kita berpikir bahwa Allah tidak mendengar jeritan
orang-orang tertindas dan tidak berbelas kasihan kepada orang-orang tak berdosa
yang menderita. Godaan kedua adalah klaim bahwa Allah harus bertindak sesuai
keinginan kita: doa kemudian membuka jalan untuk memerintah Allah,
mengajarkan-Nya bagaimana bersikap adil dan efektif.
Yesus,
saksi sempurna dari kepercayaan bakti, membebaskan kita dari kedua godaan
tersebut. Dia yang tak berdosa yang, terutama selama sengsara-Nya, berdoa
demikian: "Ya Bapa, kehendak-Mulah yang terjadi" (bdk. Luk 22:42).
Sang Guru memberikan kita kata-kata yang sama dalam Doa Bapa Kami. Marilah kita
ingat bahwa apa pun yang terjadi pada kita, Yesus memercayakan diri-Nya sebagai
Putra kepada Bapa. Maka kita adalah saudara-saudari dalam nama-Nya, sehingga
kita dapat mewartakan, “Sungguh layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus,
Allah yang kekal dan kuasa, bahwa di mana pun juga kami senantiasa bersyukur kepada-Mu”
(Doa Syukur Agung II, Prefasi).
Doa
Gereja mengingatkan kita bahwa Allah menganugerahkan keadilan bagi semua orang,
menyerahkan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka, ketika kita berseru kepada Tuhan,
"Di manakah Engkau?", marilah kita mengubah rupa seruan ini menjadi
sebuah doa, dan kemudian kita akan menyadari bahwa Allah hadir di mana
orang-orang tak berdosa menderita. Salib Kristus menyatakan keadilan Allah, dan
keadilan Allah adalah pengampunan. Ia melihat kejahatan dan menebusnya dengan
menanggungnya atas diri-Nya sendiri. Ketika kita "disalibkan" oleh
rasa sakit dan kekerasan, oleh kebencian dan perang, Kristus sudah ada di sana,
di kayu salib untuk kita dan bersama kita. Tak ada seruan yang tak dihibur
Allah; tak ada air mata yang jauh dari hati-Nya. Tuhan mendengarkan kita,
merangkul kita apa adanya, dan mengubah kita sebagaimana Dia adanya. Namun,
mereka yang menolak belas kasihan Allah, tetap tidak mampu berbelas kasihan
terhadap sesamanya. Mereka yang tidak menerima damai sebagai anugerah tidak
akan tahu bagaimana memberikan damai.
Sahabat-sahabat
terkasih, kini kita memahami bahwa pertanyaan Yesus merupakan ajakan yang kuat
untuk berharap dan bertindak: ketika Anak Manusia datang, akankah Ia mendapati
iman akan pemeliharaan Allah? Sungguh, iman inilah yang menopang komitmen kita
terhadap keadilan, justru karena kita percaya bahwa Allah menyelamatkan dunia
karena kasih, membebaskan kita dari fatalisme. Ketika kita mendengar jeritan
mereka yang sedang dalam kesulitan, marilah kita bertanya pada diri kita
sendiri, apakah kita menjadi saksi kasih Bapa, sebagaimana Kristus bagi semua
orang? Yesus yang rendah hati yang memanggil orang yang sombong untuk bertobat,
Yesus yang adil yang menjadikan kita benar. Kita melihat semua ini dalam
kehidupan para santo santa yang baru: mereka bukan pahlawan atau pejuang
cita-cita tertentu, melainkan pria dan wanita sejati.
Sahabat-sahabat
Kristus yang setia ini adalah martir karena iman mereka, seperti Uskup Ignazio
Choukrallah Maloyan dan katekis Peter To Rot; mereka adalah penginjil dan
misionaris, seperti Suster Maria Troncatti; mereka adalah pendiri yang
karismatik, seperti Suster Vincenza Maria Poloni dan Suster Maria del Monte
Carmelo Rendiles Martínez; dengan hati yang membara dalam pengabdian, mereka adalah
dermawan bagi umat manusia, seperti Bartolo Longo dan José Gregorio Hernández
Cisneros. Semoga perantaraan mereka membantu kita dalam pencobaan kita dan
teladan mereka menginspirasi kita dalam panggilan bersama kita menuju
kekudusan. Dalam perjalanan kita menuju tujuan ini, marilah kita berdoa tanpa
henti, dan terus melanjutkan apa yang telah kita pelajari dan yakini dengan
teguh (bdk. 2Tim 3:14). Dengan demikian, iman di bumi menopang pengharapan akan
surga.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 19 Oktober 2025)


Print this page
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.