Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIX 19 Oktober 2025

Misa Kanonisasi Beato Ignazio Choukrallah Maloyan, Beato Peter To Rot, Beata Vincenza Maria Poloni, Beata Maria del Monte Carmelo Rendiles Martínez, Beata Maria Troncatti, Beato José Gregorio Hernández Cisneros dan Beato Bartolo Longo

 

Bacaan Ekaristi : Kel. 17:8-13; Mzm. 121:1-2,3-4,5-6,7-8; 2Tim. 3:14-4:2; Luk. 18:1-8.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita memulai refleksi kita dengan pertanyaan yang mengakhiri Bacaan Injil yang baru saja diwartakan: "Tetapi, ketika Anak Manusia itu datang, apakah Ia akan mendapati iman di bumi?" (Luk 18:8). Pertanyaan ini menyingkapkan kepada kita apa yang paling berharga di mata Tuhan: iman, yaitu ikatan kasih antara Allah dan manusia. Hari ini kita memiliki tujuh saksi, para santo santa baru, yang, dengan rahmat Allah, menjaga pelita iman tetap menyala. Sungguh, mereka sendiri menjadi pelita yang mampu memancarkan terang Kristus.

 

Ketika kita memikirkan kekayaan materi, budaya, ilmu pengetahuan, dan seni yang luar biasa, iman bersinar bukan karena harta benda ini dijadikan tidak bernilai, melainkan karena tanpa iman, harta benda ini kehilangan maknanya. Hubungan kita dengan Allah sangat penting karena pada awal zaman Ia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan, pada akhir zaman, Ia akan menyelamatkan manusia fana dari ketiadaan. Dunia tanpa iman, dengan demikian, akan dihuni oleh anak-anak yang hidup tanpa Bapa, yaitu, oleh ciptaan tanpa keselamatan.

 

Karena alasan ini, Yesus, Putra Allah yang menjadi manusia, bertanya tentang iman: jika iman lenyap dari dunia, apa yang akan terjadi? Langit dan bumi akan tetap seperti sebelumnya, tetapi tidak akan ada lagi pengharapan dalam hati kita; kebebasan setiap orang akan dikalahkan oleh maut; keinginan kita untuk hidup akan memudar menjadi ketiadaan. Tanpa iman kepada Allah, kita tidak dapat berharap akan keselamatan. Pertanyaan Yesus dapat mengganggu kita, kecuali kita lupa bahwa Yesus sendirilah yang mengajukannya. Sabda Tuhan, sesungguhnya, selalu merupakan "Injil," pewartaan keselamatan yang penuh sukacita. Keselamatan ini adalah anugerah kehidupan kekal yang kita terima dari Bapa, melalui Putra, dalam kuasa Roh Kudus.

 

Sahabat-sahabat terkasih, inilah tepatnya mengapa Kristus berbicara kepada murid-murid-Nya tentang "harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu" (Luk. 18:1). Sebagaimana kita tak pernah jemu bernapas, demikian pula hendaknya kita tak pernah jemu berdoa! Sebagaimana bernapas menopang kehidupan tubuh, demikian pula berdoa menopang kehidupan jiwa: iman, sesungguhnya, terungkap dalam doa, dan doa sejati hidup dari iman.

Yesus menunjukkan kepada kita hubungan ini dengan sebuah perumpamaan: seorang hakim tetap tuli terhadap permintaan mendesak seorang janda, yang berkat ketekunannya akhirnya mendorong sang hakim untuk bertindak. Sekilas, kegigihan seperti itu menjadi teladan pengharapan yang indah bagi kita, terutama di masa-masa pencobaan dan kesengsaraan. Namun demikian, ketekunan perempuan itu dan sang hakim, yang enggan bertindak, membuka jalan bagi pertanyaan provokatif yang diajukan Yesus: Tidakkah Allah, Bapa yang baik, "akan memberikan keadilan kepada orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya?" (Luk. 18:7).

 

Marilah kita biarkan kata-kata ini bergema dalam hati kita: Tuhan bertanya kepada kita apakah kita percaya bahwa Allah adalah hakim yang adil bagi semua orang. Putra bertanya kepada kita apakah kita percaya bahwa Bapa selalu menginginkan kebaikan kita dan keselamatan setiap orang. Dalam hal ini, dua godaan menguji iman kita: godaan yang pertama adalah mendapatkan kekuatan dari skandal kejahatan, yang membuat kita berpikir bahwa Allah tidak mendengar jeritan orang-orang tertindas dan tidak berbelas kasihan kepada orang-orang tak berdosa yang menderita. Godaan kedua adalah klaim bahwa Allah harus bertindak sesuai keinginan kita: doa kemudian membuka jalan untuk memerintah Allah, mengajarkan-Nya bagaimana bersikap adil dan efektif.

 

Yesus, saksi sempurna dari kepercayaan bakti, membebaskan kita dari kedua godaan tersebut. Dia yang tak berdosa yang, terutama selama sengsara-Nya, berdoa demikian: "Ya Bapa, kehendak-Mulah yang terjadi" (bdk. Luk 22:42). Sang Guru memberikan kita kata-kata yang sama dalam Doa Bapa Kami. Marilah kita ingat bahwa apa pun yang terjadi pada kita, Yesus memercayakan diri-Nya sebagai Putra kepada Bapa. Maka kita adalah saudara-saudari dalam nama-Nya, sehingga kita dapat mewartakan, “Sungguh layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus, Allah yang kekal dan kuasa, bahwa di mana pun juga kami senantiasa bersyukur kepada-Mu” (Doa Syukur Agung II, Prefasi).

 

Doa Gereja mengingatkan kita bahwa Allah menganugerahkan keadilan bagi semua orang, menyerahkan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka, ketika kita berseru kepada Tuhan, "Di manakah Engkau?", marilah kita mengubah rupa seruan ini menjadi sebuah doa, dan kemudian kita akan menyadari bahwa Allah hadir di mana orang-orang tak berdosa menderita. Salib Kristus menyatakan keadilan Allah, dan keadilan Allah adalah pengampunan. Ia melihat kejahatan dan menebusnya dengan menanggungnya atas diri-Nya sendiri. Ketika kita "disalibkan" oleh rasa sakit dan kekerasan, oleh kebencian dan perang, Kristus sudah ada di sana, di kayu salib untuk kita dan bersama kita. Tak ada seruan yang tak dihibur Allah; tak ada air mata yang jauh dari hati-Nya. Tuhan mendengarkan kita, merangkul kita apa adanya, dan mengubah kita sebagaimana Dia adanya. Namun, mereka yang menolak belas kasihan Allah, tetap tidak mampu berbelas kasihan terhadap sesamanya. Mereka yang tidak menerima damai sebagai anugerah tidak akan tahu bagaimana memberikan damai.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kini kita memahami bahwa pertanyaan Yesus merupakan ajakan yang kuat untuk berharap dan bertindak: ketika Anak Manusia datang, akankah Ia mendapati iman akan pemeliharaan Allah? Sungguh, iman inilah yang menopang komitmen kita terhadap keadilan, justru karena kita percaya bahwa Allah menyelamatkan dunia karena kasih, membebaskan kita dari fatalisme. Ketika kita mendengar jeritan mereka yang sedang dalam kesulitan, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita menjadi saksi kasih Bapa, sebagaimana Kristus bagi semua orang? Yesus yang rendah hati yang memanggil orang yang sombong untuk bertobat, Yesus yang adil yang menjadikan kita benar. Kita melihat semua ini dalam kehidupan para santo santa yang baru: mereka bukan pahlawan atau pejuang cita-cita tertentu, melainkan pria dan wanita sejati.

 

Sahabat-sahabat Kristus yang setia ini adalah martir karena iman mereka, seperti Uskup Ignazio Choukrallah Maloyan dan katekis Peter To Rot; mereka adalah penginjil dan misionaris, seperti Suster Maria Troncatti; mereka adalah pendiri yang karismatik, seperti Suster Vincenza Maria Poloni dan Suster Maria del Monte Carmelo Rendiles Martínez; dengan hati yang membara dalam pengabdian, mereka adalah dermawan bagi umat manusia, seperti Bartolo Longo dan José Gregorio Hernández Cisneros. Semoga perantaraan mereka membantu kita dalam pencobaan kita dan teladan mereka menginspirasi kita dalam panggilan bersama kita menuju kekudusan. Dalam perjalanan kita menuju tujuan ini, marilah kita berdoa tanpa henti, dan terus melanjutkan apa yang telah kita pelajari dan yakini dengan teguh (bdk. 2Tim 3:14). Dengan demikian, iman di bumi menopang pengharapan akan surga.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Oktober 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.